Minggu, 19 April 2009

ETOS KERJA DALAM HADIS


PENDAHULUAN

Kehidupan mayoritas umat Islam dirasakan pada saat ini kurang sejalan dengan nilai-nilai keislaman yang tertuang di dalam ajarannya. Banyak orang yang non-muslim sering mendiskreditkan umat Islam dengan kemunduran-kemunduran, terutama dalam realitas duniawi. Sebagai bukti nyata adalah Indonesia, negara yang berpenduduk Islam terbanyak di dunia, tetapi belum mampu tampil sebagai Negara yang bermartabat, mandiri dan produktif di mata dunia. Wajar dan patut diakui sebagai langkah awal dalam perbaikan, bahwa Islam dalam kenyataannya masih jauh dari yang diharapkan dan masih berupa nilai-nilai wacana konseptual.

Sebenarnya sudah terekam dalam pikiran setiap umat Islam, bahwa agama yang mereka anut adalah agama yang universal, mengatur segala segi perikehidupan, mulai dari hal yang mikro sampai kegiatan yang makro. Ia tidak hanya mengatur kehidupan ukhrawi, tetapi selalu mendorong adanya keseimbangan  antara dunia dan akhirat yang keduanya merupakan orientasi hidup mereka. Sebagaimana tertuang di dalam Al-Qur’an, Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.”[1]

Memang masih banyak kesenjangan jika kita melirik kembali kepada prinsip-prinsip keislaman yang ada. Dan salah satu penyebabnya -dalam kegiatan kerja dan profesi misalnya- mengapa Islam dipandang oleh sebagian pihak sebagai komunitas yang stagnasi, etos kerja yang minim dan sulit untuk berkembang, adalah dikarenakan berawal dari ketidakpahaman mereka terhadap ajaran Islam itu sendiri. Sebagian orang hanya menjadikan Islam sebagai simbol sosial agar ia diterima dalam pergaulan masyarakat, tanpa berusaha memahami tentang ajaran Islam itu sendiri, apalagi mengamalkannya. Keislaman seseorang bukan hanya yakin dan mengenal dengan benar, tetapi ia juga dituntut agar berusaha mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Islam bukan hanya konsep, tetapi betul-betul manjadi agama yang membumi dan berinteraksi dalam kehidupan.

Disebabkan ketidakpahaman tersebut, maka berujung pada adanya dikotomi antara dunia bisnis/kerja dan agama dalam kegiatan profesi mereka. Mereka memandang bahwa agama tidak diperlukan dalam berbisnis atau bekerja, karena hanya teori-teori bisnis, ekonomi, industri yang menjadi penunjang keberhasilan kerja mereka. Padahal bila bertolak dari sifat univesalitas Islam, maka tidak demikian, karena semuanya telah di atur dalam Islam, bahkan nilai-nilai itu sangat sempurna. Misalnya etos kerja yang merupakan salah satu penunjang kegiatan muamalah/bisnis dan sangat ditekankan untuk diaktualisasikan, juga dibahas secara komprehensif di dalam sumber ajaran Islam, yaitu Al-Quran, dan telah tergambar dalam kehidupan Rasulullah Muhammad Saw. sebagai figur utama dalam etos kerja Islam.

Pada makalah ini penulis bermaksud untuk menjelaskan nilai-nilai etos kerja Islam yang telah dirumuskan oleh Rasulullah Saw. dalam hadisnya, yang mungkin bisa dijadikan panduan dalam berbisnis dan bekerja. Dan diharapkan dengan tulisan ini, timbul suatu jawaban atas anggapan negatif yang ada, bahwa Islam secara idealitas bukan agama yang stagnasi, memiliki etos kerja yang tinggi dan mendorong kepada kemajuan. Dan  diharapkan juga bisa menjadi motivasi bagi umat Islam untuk berusaha memahami nilai-nilai etos kerja, dan mengamalkan dalam dunia profesi mereka masing-masing, sehingga realitas akan berjalan seiring dengan idealitas yang dimiliki.

Dalam permasalahan ini, secara umum penelitian yang penulis lakukan bersifat induktif, yaitu dengan terlebih dahulu mencari konsep-konsep etos kerja tinggi yang telah disuarakan oleh para pakar ilmuan Islam, yang pada kenyataannya tidak bertentangan dengan etos kerja tinggi pada umumnya, dan telah terbukti di dalam meningkatkan prodiktifitas usaha. Selanjutnya penulis melakukan penelusuran terhadap sumber-sumber etos kerja Islam yang tertuang dalam Hadis Nabi Muhammad Saw. dengan mengacu kepada nilai-nilai etos kerja yang telah didapatkan. Dan dalam poin pembahasan ini, ada beberapa hal yang ditampilkan, yaitu berupa konsep etos kerja, karakteristik etos kerja islami berikut dengan ciri-cirinya, yang semuanya telah tegambar dalam hadis Nabi Saw.      

PEMBAHASAN

A. Pengertian Etos Kerja

Kata-kata etos pada awalnya berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang berarti watak atau karakter. Maka makna etos selanjutnya adalah karakteristik dan sikap, kebiasaan serta kepercayaan yang bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok manusia. Dan dari perkataan etos terambil pula kata “etika” dan “etis” yang merujuk kepada makna “akhlaq” atau bersifat “akhlaqi”, yaitu kualitas esensial seseorang atau sekelompok orang termasuk satu bangsa. Juga dikatakan bahwa etos berarti jiwa khas suatu kelompok manusia. Dari jiwa yang khas itu berkembang pandangan bangsa tersebut tentang yang baik dan buruk, yakni etikanya.  Oleh karena itu etos kerja dapat kita pahami sebagai kualitas esensial dari kerja seorang individu atau sekelompok orang termasuk juga suatu bangsa, dimana kualitas tersebut merupakan pancaran dari sistem nilai serta ide yang mereka yakini.[2]

Kata kerja dalam kamus besar bahasa Indonesia artinya kegiatan melakukan sesuatu.[3] Dan kerja yang dimaksudkan dalam pembahasan di sini tentu saja kegiatan yang merupakan aktifitas sengaja, bermotif dan bertujuan, karena kerja secara umum bisa juga diartikan gerakan tanpa adanya dorongan dan proses berpikir. Selain itu, ada yang mengartikan bahwa kerja biasanya terikat dengan penghasilan atau upaya untuk memperoleh hasil, baik bersifat materil maupun non-materil. Adapun “kerja” jika ditela’ah sesuai ajaran Islam, ia merupakan salah satu bentuk ‘amal yang tidak dapat  dipisahkan dari signifikansi religius dan spiritual yang tercakup di dalamnya. Di dalam bahasa Arab kata “kerja” biasanya disebut ‘amal  yang berarti tindakan atau perbuatan manusia. Sementara prinsip-prinsip aspek perbuatan manusia dalam Islam berkaitan dengan dimensi spiritual, sehingga aspek etis baik dari amal atau apa yang secara lahiriah dikerjakan manusia pasti akan ditemukan petunjuk-petunjuknya serta ajaran-ajarannya dalam Al-Quran dan Al-hadis.[4]

Dari sisi fungsional, makna bekerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala aset, fikir dan dzikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menjadi bagian dari masyarakat yang terbaik (khiro ummah) atau dengan kata lain, hanya dengan bekerja manusia akan menghasilkan kemanfaatan dirinya. Maka di sini kita melihat bahwa dalam makna bekerja manusia itu akan bisa mengatasi alamnya, dan karena kedinamisannya ia mampu mengolah dan mengarahkan alam untuk tunduk kepadanya. Oleh karena itu etos kerja muslim bisa diartikan sebagai, “cara pandang yang diyakini seorang muslim bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiannya, tetapi juga sebagai suatu manifestasi dari amal saleh dan karenanya memiliki nilai ibadah yang sangat luhur.” [5]   

B. Hadis-Hadis Tentang Etos Kerja Islam

Karakteristik etos kerja Islam di sini digali dan dirumuskan berdasarkan konsep iman dan amal saleh, karena etos kerja apapun menurut pemahaman qur’ani tidak dapat menjadi islami bila tidak dilandasi oleh iman dan amal saleh. Suatu kerja atau perbuatan, meski secara nyata memberikan manfaat bersifat keduniaan kepada orang lain, namun tanpa disertai iman pelakunya, kerja itu tidak akan membuahkan pahala di akherat kelak. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.”[6]

Dari pada itu masih terdapat satu unsur lagi yang bersama iman dan amal saleh dalam membentuk tiga pola kehidupan yang kokoh dan benar, yaitu keilmuan. Ilmu ternyata menjadi landasan sekaligus jembatan yang harus ada bagi iman dan amal saleh. Tiap-tiap ajaran Islam dapat diamalkan secara benar dan baik hanya bila didukung oleh pengetahuan atau ilmu tentang ajaran itu. Dengan demikian menurut perspektif Islam, iman, ilmu dan amal merupakan rangkaian yang saling menyempurnakan, dan dapat digali darinya mengenai etos kerja Islam.

Adapun karakteristik yang muncul dari tiga unsur di atas adalah sebagai berikut[7] :

1.    Kerja merupakan penjabaran aqidah

Sehubungan dengan kerja, aqidah dan ajaran Islam adalah menjadi sumber nilai dan sumber ilmu, di samping sebagai sumber motivasi. Sebagai sumber nilai islam menetapkan norma-norma yang terkait dengan kerja. Sangat banyak pekerjaan yang diperkenankan dalam Islam, namun ada pula pekerjaan-pekerjaan tertentu yang dilarang seperti mencuri, berjudi, riba, mengurangi timbangan dan pekerjaan-pekerjaan lain yang mengandung kezaliman. Sehingga dari itu dapat dikembangkan menjadi nilai/etika kerja islami.[8]

Sejarah telah membuktikan bahwa aqidah Islam berpotensi besar sebagai sumber motivasi yang mampu mengubah serta membangun sikap hidup mendasar, karakter, serta kebiasaan perilaku manusia. Berawal dari keyakinan aqidah dan doktrin tentang adanya kehidupan akhirat, maka kerja dalam Islam tidak hanya berorientasi duniawi, namun nilai ibadah di sisi Allah juga harus diperhatikan untuk kepantingan akhirat manusia. Oleh karena itu, dalam bekerja harus ada motivasi/niat ke arah itu, seperti dengan bertujuan meraih ridha Allah Swt. Inilah nilai karakteristik (ciri khas) dalam etos kerja Islam. Salah satu bentuk penjabaran motivasi amal saleh dan kerja islami, Rasulullah Saw. mengemukakan hadis yang masyhur tentang permasalahan niat.

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ قَالَ سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ سَعِيدٍ يَقُولُ أَخْبَرَنِى مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِىَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رضى الله عنه يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ) إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ(.[9]

Dari hadis tersebut dapat ditangkap suatu pengertian bahwa begitu menentukan dan besarnya peranan niat dalam amal islami, karena motivasi kegiatan dan kerja adalah dalam rangka ibadah, tidak boleh salah alamat, dan harus ikhlas lillahi ta’ala. Hal ini didasari keyakinan bahwa kerja atau perbuatan positif apapun, yang pada mulanya bernilai sekuler atau duniawi belaka dapat berubah menjadi bernilai ibadah jika didasari niat, motivasi atau komitmen ibadah. Sehingga karakteristik inilah yang menjadi pembeda etos kerja islami dengan etos kerja lainnya.

2.    Kerja dilandasi ilmu

Kerja yang dilandasi iman memang amat penting, agar tekendali oleh tujuan yang luhur. Begitu juga dengan ilmu, tanpanya kerja akan salah arah dan tergelincir, karena dilandasi pemahaman yang tidak proporsional. Dengan ilmu, orang dituntut bekerja dengan rasional, ilmiah, proaktif, kreatif, baik, teratur, profesional, disiplin dan sikap-sikap baik lainya yang merupakan penunjang keberhasilan kerja. Kerja tanpa ilmu dan berlawanan dengan sikap tersebut sangat dilarang oleh Islam, bahkan kehancuran akan diperoleh jika melakukan sesuatu tanpa ilmu, seperti disinyalir oleh hadis Nabi Saw.:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ قَالَ حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ وَحَدَّثَنِى إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُلَيْحٍ قَالَ حَدَّثَنِى أَبِى قَالَ حَدَّثَنِى هِلاَلُ بْنُ عَلِىٍّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم فِى مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ جَاءَهُ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ فَمَضَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُحَدِّثُ، فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ سَمِعَ مَا قَالَ، فَكَرِهَ مَا قَالَ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ لَمْ يَسْمَعْ، حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ قَالَ (أَيْنَ أَرَاهُ السَّائِلَ عَنِ السَّاعَةِ). قَالَ هَا أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ: (فَإِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ) . قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ (إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ).[10]

3.    Kerja dengan meneladani sifat-sifat ilahi serta mengikuti petunjuknya.

 

Banyak sifat-sifat manusia yang mempunyai nama, sebutan dan indikasi yang serupa dengan Asma’ al-Husna atau sifat-sifat Allah. Namun demikian tentu saja dalam bentuk serta kualitas yang sangat jauh berbeda, sesuai dengan firman Allah, “...tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya.”[11] Sebagai contoh, Allah memiliki sifat Maha Sempurna, maka jika kita kaitkan dengan etos kerja, manusia diharapkan bisa mengembangkan aktivitas kerja dan prestasinya sampai kepada tingkat tertinggi menurut ukuran manusiawi, kalau dia berusaha dengan sungguh-sungguh. Hal ini menunjukkan dorongan agar manusia selalu berusaha semaksimal mungkin untuk keberhasilan hidup.

 

Berdasarkan pembahasan tentang tiga karakteristik etos kerja islami tersebut, ternyata menimbulkan ciri-ciri yang dalam batas-batas tertentu serupa dengan karakteristik-karakteristik etos kerja tinggi pada umumnya. Dari karakteristik pertama ditemukan sikap hidup mendasar yang menjadi sumber motivasi etos kerja islami, karena pada umumnya setiap tindakan pasti terdapat motif sebelumnya. Dari karakteristik kedua ditemukan implikasi dalam kerja yaitu sikap kerja yang harus profesional, objektif, rasional, disiplin, teratur, ilmiah dan adanya perencanaan yang matang. Dan dari karakteristik ketiga ditemukan indikasi yang serupa dengan karakteristik etos kerja tinggi umumnya, yaitu dengan meneladani sifat-sifat ilahi dapat digali sikap kerja aktif, kreatif, tekun, konsekuen, berusaha, percaya diri dan mandiri.[12]

Berikut ini beberapa sikap etos kerja tinggi dalam Islam, yang bersumber pada hadis Nabi Saw. yang terkadang secara tekstual tidak spesifik mengarah kepada konteks perilaku kerja, tetapi jika kita kaitkan dengan makna yang terkandung di dalamnya, maka bisa mendorong kepada kemajuan dan keberhasilan dalam kerja. Dan pada dasarnya sikap etos kerja tidak hanya terbatas dalam beberapa sikap ini saja, masih banyak sikap lain yang perlu diperhatikan, yang intinya adalah sikap yang mengantarkan kepada keberhasilan dan prestasi yang tinggi dalam dunia kerja, dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum Islam. Dan dalam batas-batas tertentu, ciri-ciri etos kerja islami dan ciri-ciri etos kerja tinggi pada umumnya banyak keserupaannya, utamanya pada dataran lahiriahnya. Ciri-ciri tersebut antara lain :  

1.        Baik dan Bermanfaat

Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun kelompok. Sebagaimana Nabi Saw. mengajarkan untuk menjadi yang terbaik bagi umat :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن عَبْدِ الرَّحِيمِ الشَّافِعِيُّ الْحِمْصِيُّ حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بن هَاشِمٍ السِّمْسَارُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بن قَيْسٍ الضَّبِّيُّ حَدَّثَنَا سُكَيْنُ بن أَبِي سِرَاجٍ حَدَّثَنَا عَمْرُو بن دِينَارٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ وَأَيُّ الأَعْمَالِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ، وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ، أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا، أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا، وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا، وَمَنَ كَفَّ غَضَبَهُ سَتَرَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ وَلَوْ شَاءَ أَنْ يُمْضِيَهُ أَمْضَاهُ مَلأَ اللَّهُ قَلْبَهُ رَجَاءً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ مَشَى مَعَ أَخِيهِ فِي حَاجَةٍ حَتَّى يَتَهَيَّأَ لَهُ أَثْبَتَ اللَّهُ قَدَمَهُ يَوْمَ تَزُولُ الأَقْدَامِ.)[13]

Ini adalah pesan iman yang membawa manusia kepada orientasi nilai dan kualitas. Pekerjaan yang standar adalah pekerjaan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat, secara material dan moral-spiritual. Ciri utama dari orang-orang mukmin yang berhasil dalam hidupnya adalah kemampuannya produktif dan melahirkan amalan-amalan yang bermanfaat.[14]

2.   Kemantapan atau perfectness

Kualitas kerja yang mantap atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami yang berarti pekerjaan mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih.

حدثنا أحمد قال حدثنا مصعب قال حدثنا بشر بن السري عن مصعب بن ثابت عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة أن رسول الله قال : (إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ.) [15]  

Sikap ini muncul karena dilandasi adanya profesionalitas kerja, yang diistilahkan oleh sebagian orang dengan fathanah, karena mengidentikan dengan kepribadian yang dimiliki Nabi Saw. sebagai teladan dalam permasalahan umat Islam. Fathanah artinya mengerti, memahami dan menghayati secara mendalam segala yang menjadi tugas dan kewajibannya, baik yang berhubungan dengan ilmu, peraturan, informasi perusahaan dan pekerjaan.[16]

3.   Kerja Keras, Tekun dan Kreatif.

Kerja keras, yang dalam Islam diistilahkan dengan mujahadah dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan, tinggal peran manusia sendiri dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya secara optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai.

حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضى الله عنه  قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَتَعَوَّذُ يَقُولُ (اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَرَمِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبُخْلِ.)[17]

Anjuran tentang ketekunan dan kerja keras telah tergambar dalam hadis Nabi Saw, seperti yang tersirat dalam hadis di atas, bahwa Nabi Saw. sangat membenci sifat-sifat dan perilaku yang mendorong kepada kemunduran, seperti malas, takut, bakhil dan lain sebagainya.

4.        Berkompetisi dan Tolong-menolong

Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal shalih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah, seperti “fastabiqul khairat” (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaika)[18] . Oleh karena dasar semangat dalam kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah serta amal shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram; saling mengalahkan atau mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun).

حَدَّثَنَا خَلاَّدُ بْنُ يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِى بُرْدَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى بُرْدَةَ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِى مُوسَى عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ( إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ ، يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا)  وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ.  [19]

 

5.   Objektif (Jujur)

Sikap ini dalam Islam diistilahkan dengan shidiq, artinya mempunyai kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan dan amal perbuatan dengan nilai-nilai  yang benar dalam Islam. Tidak ada kontradiksi antara realita dilapangan dengan konsep kerja yang ada. Dalam dunia kerja dan usaha kejujuran ditampilakan dalam bentuk kesungguhan dan ketepatan, baik ketepatan waktu, janji, pelayanan, mengakui kekurangan, dan kekurangan tersebut diperbaiki secara terus-menerus, serta menjauhi dari berbuat bohong atau menipu.[20] Berkaitan dengan kejujuran ini, terdapat beberapa hadis, antara lain :

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ عَنْ شَقِيقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم (عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ صِدِّيقاً وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ كَذَّاباً).[21]

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ - وَهُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْقَارِىُّ ح وَحَدَّثَنَا أَبُو الأَحْوَصِ مُحَمَّدُ بْنُ حَيَّانَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِى حَازِمٍ كِلاَهُمَا عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : (مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلاَحَ فَلَيْسَ مِنَّا وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا).[22]

 

6.   Disiplin atau Konsekuen

Selanjutnya sehubungan dengan ciri-ciri etos kerja tinggi yang berhubungan dengan sikap moral yaitu disiplin dan konsekuen, atau dalam Islam disebut dengan amanah. Sikap bertanggungjawab terhadap amanah merupakan salah satu bentuk akhlaq bermasyarakat secara umum, dalam konteks ini adalah dunia kerja. Allah memerintahkan untuk menepati janji adalah bagian dari dasar pentingnya sikap amanah.[23] Janji atau uqud dalam ayat tersebut mencakup seluruh hubungan, baik dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain dan alam semesta, atau bisa dikatakan mencakup seluruh wilayah tanggung jawab moral dan sosial manusia.[24] Untuk menepati amanah tersebut dituntut kedisiplinan yang sungguh-sungguh terutama yang berhubungan dengan waktu serta kualitas suatu pekerjaan yang semestinya dipenuhi. Prinsip amanah pada awalnya sudah dikemukakan oleh Nabi Saw. dalam hadisnya:

قَالَ الْقُرَشِىُّ حَدَّثَنِى أَبِى أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ (أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ).[25]

7.   Konsisten dan Istiqamah

Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan dalam keteguhan dan kesabaran sehingga menghasilkan sesuatu yang maksimal. Istiqamah merupakan hasil dari suatu proses yang dilakukan secara terus-menerus. Proses itu akan menumbuh-kembangkan suatu sistem yang baik, jujur dan terbuka, dan sebaliknya keburukan dan ketidakjujuran akan tereduksi secara nyata.[26] Orang atau lembaga yang istiqamah dalam kebaikan akan mendapatkan ketenangan dan sekaligus akan mendapatkan solusi daris segala persoalan yang ada. Inilah janji Allah kepada hamba-Nya yang konsisten/istiqamah.[27]    

أخبرنا عبد الله بن قحطبة حدثنا أحمد بن أبان القرشي حدثنا إبراهيم بن سعد عن الزهريّ عن محمد بن عبد الرحمن بن ماعز : عن سفيان بن عبد الله الثقفيّ قال قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ حَدِّثْنِى بِأَمْرٍ أَعْتَصِمُ بِهِ. قَالَ: (قُلْ رَبِّىَ اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقِمْ.) [28]

Dilihat dari kandungan isi hadis di atas, tidak secara spesifik mengarah kepada dorongan untuk berbuat istiqamah/konsisten dalam kerja. Namun prinsip itu dapat digali dalam keimanan seseorang mengenai ajaran agama Islam seperti yang tersebut di dalam hadis, yang kemudian bisa dikorelasikan dalam bidang pekerjaan, yaitu bahwa seorang muslim harus selalu konsisten dalam beramal, baik af’al qalb atau af’al dzahir.

8.    Percaya diri  dan Kemandirian

Sesungguhnya daya inovasi dan kreativitas hanyalah terdapat pada jiwa yang merdeka, karena jiwa yang terjajah akan terpuruk dalam penjara nafsunya sendiri, sehingga dia tidak pernah mampu mengaktualisasikan aset dan kemampuan serta potensi ilahiyah yang ia miliki yang sungguh sangat besar nilainya.[29] Semangat berusaha dengan jerih payah diri sendiri merupakan hal sangat mulia posisi keberhasilannya dalam usaha pekerjaan, sebagaimana disinyalir oleh Nabi Saw :

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ عَنْ عُمَارَةَ عَنْ عَمَّتِهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم (إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ )[30]

9.   Efisien dan Hemat

Agama Islam sangat menghargai harta dan kekayaan. Jika orang mengatakan bahwa agama Islam membenci harta, adalah tidak benar. Yang dibenci itu ialah mempergunakan harta atau mencari harta dan mengumpulkannya untuk jalan-jalan yang tidak mendatangkan maslahat, atau tidak pada tempatnya, serta tidak sesuai dengan ketentuan agama, akal yang sehat dan ‘urf  (kebiasaan yang baik).[31] Demi kemaslahatan harta tersebut, maka sangat dianjurkan untuk berperilaku hemat dan efisien dalam pemanfaatannya, agar hasil yang dicapai juga maksimal. Namun sifat hemat di sini tidak sampai kepada kerendahan sifat yaitu kikir atau bakhil. Sebagian  ulama membatasi sikap hemat yang dibenarkan kepada perilaku yang berada antara sifat boros dan kikir, maksudnya hemat itu berada di tengah kedua sifat tersebut. Kedua sifat tersebut akan berdampak negatif dalam kerja dan kehidupan, serta tidak memiliki kemanfaatan sedikit pun, padahal Islam melarang sesorang untuk berlaku yang tidak bermanfaat :

أخبرنا الحسين بن عبد الله القطان بالرقة قال حدثنا هشام بن عمار قال حدثنا محمد بن شعيب عن الأوزاعي عن قرة عبد الرحمن عن الزهري عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : (إنَّ مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ.)[32]

 

Efisiensi pada prinsinya tidak hanya sebatas harta benda, namun mencakup segala komponen dalam kerja, seperti waktu, tenaga dan pikiran. Ketika melakukan sesuatu didasari pencapaian hasil yang maksimal dengan tanpa menghamburkan potensi yang dimiliki, maka ia telah bersikap efisien. Dalam hal ini Nabi Saw. bersabda:    

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن أَبِي زُرْعَةَ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بن عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا مُخَيِّسُ بن تَمِيمٍ، حَدَّثَنِي حَفْصُ بن عُمَرَ، حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بن عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (اَلْإِقْتِصَادُ فِي النَّفَقَةِ نِصْفُ الْمَعِيْشَةِ ، وَالتَّوَدُّدُ إِلَى النَّاسِ نِصْفُ الْعَقْلِ ، وَحُسْنُ السُّؤَالِ نِصْفُ الْعِلْمِ.)[33]

Pembahasan ciri-ciri atau sikap-sikap etos kerja islami tidak terbatas pada apa yang telah penulis sebutkan di atas, karena masih banyak sikap lain yang perlu dimiliki bagi setiap pelaku kerja untuk memperoleh keberhasilan dalam profesi yang ia tekuni. Namun, pada prinsipnya Islam telah mengatur cara dan perilaku ke arah itu, yang terkadang tidak secara tersurat bisa kita dapatkan. Seperti hadis yang telah penulis tampilkan, itu hanya sebagian kecil dari prinsip etos kerja islami yang tertuang dalam hadis Nabi Saw. Apalagi kalau kita mau membuka lembaran sejarah nabawiyah, maka banyak akan kita temukan prinsip, perilaku dan sikap Nabi Saw. dalam menanamkan etos kerja yang tinggi kepada umatnya, sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi pada masa mudanya juga pernah berprofesi sebagai pedagang, dan keberhasilan perjuangan Nabi sebagai pemimpin atau imam pasti juga dilandasi sikap etos kerja yang tinggi.

Hadis-hadis yang telah penulis tampilkan dalam pembahasan di atas kalau dilihat dari sanad dan para perawinya, ada sebagaian yang berstatus hadis dla’if, sehingga kelayakan untuk sebagai landasan dalam ilmu keislaman memang masih diragukan.. Namun demikian, kenyataan seperti itu bagi sebagian ahli hadis adalah diberlakukan untuk penetapan hukum, yang sangat membutuhkan kebenaran dan kekuatan dari hadis tersebut sebagai landasan hukumnya. Sedangkan menurut penulis, permasalahan etos kerja ini bukanlah bagian dari hukum yang sarat akan nilai hitam atau putih, tetapi lebih merupakan bagian dari motivasi dalam beramal. Oleh karena itu, penggunaan hadis dla’if pun bisa diperkenankan selama kedla’ifannya tidak parah, atau mencapai tingkatan maudlu’ (palsu). Dalam hal ini ulama’ hadis mengisyaratkan dengan kajian fadlail al-a’mal. Al-Dahlawi berka; “Pendapat yang masyhur menyatakan bahwa hadis dla’if bisa dipakai dalam permaslahan fadla’il al-a’mal, tidak selainnya.[34]


 

PENUTUP

Dari pembahasan tentang etos kerja di atas, dapat kita ambil suatu kesimpulan, bahwa ajaran Islam yang bersifat universal juga mengatur cara-cara agar manusia berhasil di dalam menggeluti profesinya. Hal ini dapat digali dari hadis-hadis Nabi Saw tentang prinsip-prinsip etos kerja islami, baik dalam konteks kerja secara spesifik, maupun konteks amal secara umum. Namun, ada poin penting yang menjadi ciri khas etos kerja islami dari etos kerja pada umumnya, yaitu motivasi dalam bekerja, yang tidak hanya keberhasilan duniawi sebagai tujuannya, tetapi harus terdorong oleh motivasi ibadah untuk meraih kebahagiaan akhirat, sehingga nilai-nilai ilahiyah tidak bisa dinafikan darinya. Kemudian pada dasarnya ciri-ciri dalam etos kerja sangat luas, tidak terbatas pada beberapa poin, tetapi penulis bisa menyimpulkan bahwa setiap sikap dan perilaku yang mengantarkan pelaku kerja kepada keberhasilan usaha, itulah bagian dari sikap etos kerja tinggi. Semoga setelah kita mengetahuinya, akan muncul suatu tekad dan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi keberhasilan, dan tidak hanya berisi konsep atau wacana saja, namun juga memperhatikan seberapa jauh konsep tersebut bisa diaplikasikan dalam kehidupan. Pada intinya, konsep ajaran Islam adalah bernuansa iman, ilmu dan amal shalih.      

  


 

DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Hasbi TM., Al-Islam 2, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1998.

Asifuddin, Ahmad Janan, Etos Kerja Islami, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004.

Tasmara, Toto, Etos Kerja Pribadi Muslim, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995.

Bukhori, Shahih al-Bukhari, Baeirut: Dar Ibn Katsir, 1987

Al-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, Maktabah ‘Ulum wa al-Hikam, 1983.

--- , al-Mu’jam al-Awsath, Kairo, Dar al-Haramain, 1415 H.

Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad  ibn Hanbal, Kairo: Muassasah al-Qurtubah, tt.

Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi, tt.

Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993.

Al-Dahlawi, Muqaddimah fi ushul al-Hadis, Beirut: Dar al-Basya’ir al-Islamiyah, 1986.

Hafidhuddin, Didin, Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi III), Jakarta: Balai Pustaka, 2003. 

Nasr, Sayyed Hossein, Pandangan Islam terhadap Etika Kerja, terj. Ahmad Mu’azin, Jakarta: LASF, 1990.

Software Computer, al-Maktabah al-Syamilah – al-Ishdar al-Tsani.

 

 

 

 

 

 

    

 



[1] Q.S. Al-Qashash: 77.

[2] Ahmad Janan Asifuddin, Etos Kerja Islami, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004),      h. 25-26. Lihat juga Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia -Edisi III-, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 309

[3] Ibid, h. 554

[4] Ahmad Janan Asifuddin, Etos Kerja Islami, h. 310

[5] Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 27-28

[6] Q.S. An-Nur: 39

[7] Disarikan dari Ahmad Janan Asifuddin, Etos Kerja Islami, h. 100-102

[8] Ibid, h. 105

[9] Bukhori, Shahih al-Bukhari, (Baeirut: Dar Ibn Katsir, 1987), juz 6, h. 2461.

[10] Ibid, juz 1, h. 33.

[11] Q.S. As-Syuro: 11

[12] Ahmad Janan Asifuddin, Etos Kerja Islami, h. 129

[13] Al-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, (Maktabah ‘Ulum wa al-Hikam, 1983), juz. 12, h. 453. Al-Suyuthi menilai hadis ini dha’if, karena terdapat perawi yang bernama Sukain ibn Siraj. Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Kabir, (al-Maktabah al-Syamilah), h. 983.  

[14] Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 45

[15] Al-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath, (Kairo, Dar al-Haramain, 1415 H.), juz 1, h. 275. Al-Suyuthi berkomentar bahwa Mus’ab ibn Tsabit dinilai lemah (dha’if) oleh segolongan ulama’ hadis. Lihat Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Kabir, h. 8859.   

[16] Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, h. 37

[17] Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz 5, h. 2343

[18] Q.S. al-Baqarah: 108.

[19] Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz 1, h.182

[20] Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, h. 36

[21] Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad  ibn Hanbal, (Kairo: Muassasah al-Qurtubah), Juz 1, h. 384.

[22] Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi), juz 1, h. 99

[23] Lihat Q.S. al-Maidah: 51

[24] Sayyed Hossein Nasr, Pandangan Islam terhadap Etika Kerja, terj. Ahmad Mu’azin, (Jakarta: LASF, 1990), h. 5

[25] Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad  ibn Hanbal, juz3, h. 414.

[26] Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, h. 37

[27] Q.S. Fushilat: 30

[28] Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993), juz 13, h. 7

[29] Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, h. 39

[30] Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz 6, h. 162.

[31] TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam 2, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1998), h. 438.

[32] Hadis riwayat sahabat Abu Hurairah Ra. Shahih Ibn Hibban, juz 1, h. 466.

[33] Al-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath, juz 7, h. 25. Ad-Dzahabi berkomentar bahwa terdapat dua perawi majhul di dalam sanad hadis tersebut, yaitu Mukhayyis ibn Tamim dan Hafs ibn Umar. Lihat Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Kabir, h.196.

[34] Al-Dahlawi, Muqaddimah fi ushul al-Hadis, (Beirut: Dar al-Basya’ir al-Islamiyah, 1986), h. 83